Senin, 07 April 2014

Peran Agama Dalam Pengembangan Budaya Lokal

BAB I
PENDAHULUAN


            1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman agama dengan ajaran-ajarannya, terutama agama besar didunia, pada dasarnya bersifat mendunia. Ajaran agama yang bersifat mendunia atau dapat dianut oleh siapa saja memungkinkan agama-agama tersebut mudah masuk dan diterima oleh masyarakat dunia, yang memiliki tempat berdeda maupun sama. Terjadinya keanekaragaman agama dalam berbagai kelompok masyarakat yang bersifat universal dan bertemu dengan kebudayaan lokal di dalam masyarakat melahirkan keanekaragaman budaya baru di kalangan para penganutnya.

1.2 Rumusan Masalah
           Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka masalah yang muncul kemudian adalah :
1.                 Apakah agama dan budaya lokal sudah menyatu didalam kebudayaan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia dan sudah menjadi hal yang wajib dilakukan apabila merayakan suatu peristiwa penting, seperti upacara keagamaan?

1.3 Tujuan Penulisan
            Penulisan ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan baru yang mendasar dan menyeluruh mengenai peran agama dalam kebudayaan lokal yang sudah melekat dan diikuti oleh masyarakat turun temurun dan dipercaya sebagai kebudayaan para leluhur.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peran Agama dalam Kebudayaan Lokal
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the long run, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif. Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam. Lihat saja tradisi berlebaran di Indonesia. Siapa yang menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam? Disamping Ramadan, tradisi berlebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu. Lebaran menjadi momentum yang mulia dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama silaturrahim. Apalagi dalam era globalisasi dimana orang makin mementingkan diri sendiri. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, tradisi telah menyatu dengan nilai Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “adat bersendikan hukum Islam, hukun Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan Madura juga dikenal abantal omba’, asapo’ iman yang bermakna bekerja keras dan senantiasa bertakwa.
Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat Islam merintis cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.
Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak tempat.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami  (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami  (secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.

REFERENSI

Zakiyuddin Baidhawy, Mutohharun Jinan. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal : Agama dan keragaman kebudayaan. Surakarta : Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar