BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring
perkembangan zaman agama dengan ajaran-ajarannya, terutama agama besar didunia,
pada dasarnya bersifat mendunia. Ajaran agama yang bersifat mendunia atau dapat
dianut oleh siapa saja memungkinkan agama-agama tersebut mudah masuk dan
diterima oleh masyarakat dunia, yang memiliki tempat berdeda maupun sama.
Terjadinya keanekaragaman agama dalam berbagai kelompok masyarakat yang
bersifat universal dan bertemu dengan kebudayaan lokal di dalam masyarakat melahirkan
keanekaragaman budaya baru di kalangan para penganutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka masalah yang muncul kemudian
adalah :
1.
Apakah agama dan budaya lokal sudah menyatu
didalam kebudayaan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia dan sudah menjadi
hal yang wajib dilakukan apabila merayakan suatu peristiwa penting, seperti
upacara keagamaan?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan
ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan baru yang mendasar dan menyeluruh
mengenai peran agama dalam kebudayaan lokal yang sudah melekat dan diikuti oleh
masyarakat turun temurun dan dipercaya sebagai kebudayaan para leluhur.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Peran Agama dalam Kebudayaan Lokal
Agama Islam
membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan
tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan yang
mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara pelan-pelan
menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk
sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat
wajar, dan in the long run, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan
para pemeluk agama, gejala semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Para ulama
salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif. Mereka tidak serta merta
membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat berlawanan dengan aqidah
dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif dan dapat digunakan untuk
menegakkan syiar Islam. Lihat saja tradisi berlebaran di Indonesia. Siapa yang
menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam? Disamping Ramadan, tradisi
berlebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu. Lebaran menjadi momentum yang mulia
dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama silaturrahim. Apalagi dalam
era globalisasi dimana orang makin mementingkan diri sendiri. Dalam masyarakat
Minangkabau misalnya, tradisi telah menyatu dengan nilai Islam. Lihat kearifan
lokal mereka: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “adat
bersendikan hukum Islam, hukun Islam bersendikan Al Quran.” Dalam tradisi lisan
Madura juga dikenal abantal omba’, asapo’ iman yang bermakna bekerja
keras dan senantiasa bertakwa.
Islam tidak
pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya tinggi, budaya kraton dan
budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu
terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara benar, perlu kiranya umat
Islam merintis cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya)
agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.
Meluasnya Islam
ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi
tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak
menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan
rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid
kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita
kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab.
Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan
menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna
Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta,
Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak tempat.
Dalam benak
sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi.
Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai,
kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya.
Tetapi baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki fungsi
yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang
beradab dan berperikemanusiaan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam benak
sebagian besar orang, agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi.
Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak yang longgar, bahkan bebas nilai,
kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya.
Tetapi baik agama maupun budaya difahami (secara umum) memiliki fungsi
yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang
beradab dan berperikemanusiaan.
Sejalan dengan
perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan
sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal.
Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan
aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi
salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara
keseluruhan.
REFERENSI
Zakiyuddin Baidhawy, Mutohharun Jinan. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal : Agama
dan keragaman kebudayaan. Surakarta : Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar