Pengertian
Konflik Organisasional
Konflik Organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok organisasi yang harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan- kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi. Konflik organisasi juga dapat diartikan sebagai perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain.
Pada dasarnya proses konflik bermula
pada saat satu pihak dibuat tidak senang oleh, atau akan berbuat tidak
menyenangkan kepada pihak lain mengenai suatu hal yang oleh pihak pertama
dianggap penting.
Perbedaan konflik dan persaingan
(kompetisi) terletak pada apakah salah satu pihak mampu untuk menjaga dirinya
dari gangguan pihak lain dalam pencapaian tujuannya. Persaingan ada, bila
tujuan pihak- pihak yang terlibat adalah tidak sesuai tetapi pihak- pihak
tersebut tidak dapat saling mengganggu. Sebagai contoh, dua kelompok mungkin
saling bersaing untuk memenuhi target, bila tidak ada kesempatan untuk
mengganggu pencapaian tujuan pihak lain, situasi persaingan terjadi, tetapi
bila ada kesempatan untuk mengganggu dan kesempatan tersebut digunakan, maka
akan timbul konflik.
Kerjasama (kooperasi) terjadi bila dua
pihak atau lebih bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. Konflik dan
kooperasi dapat terjadi bersamaan. Lawan kata kooperasi bukan konflik, tetapi
kurangnya kooperasi (kerjasama). Sebagai contoh, dua pihak setuju pada
tujuan,tetapi tidak setuju dengan cara pencapaian tujuan tersebut. Manajemen
konflik berarti bahwa para manajer harus berusaha menemukan cara untuk
menyeimbangkan konflik dan kooperasi.
Contoh Konflik Organisasional
Contoh Konflik Organisasional
Belakangan muncul istilah Musyawarah
Nasional (Munas) Tandingan dan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Tandingan di dalam
tubuh Partai Golkar. Tuduhan itu ditujukan terhadap Munas yang berlangsung di
Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014, termasuk
keputusan-keputusannya. Pasalnya, pada tanggal 30 November sampai 2 Desember
2014, juga berlangsung Munas di Bali. Dua struktur kepengurusanpun sudah
dilaporkan kepada Kementerian Hukum dan HAM guna diverifikasi dan dinyatakan
sebagai kepengurusan yang sah menurut hukum positif yang berlaku.
Banyak pendapat berserakan di media
massa menyangkut Munas mana yang legal, mana yang abal-abal. Termasuk
putusan-putusan yang sudah diambil. Di luar itu, konflik yang dihadapi Partai
Golkar sekarang adalah konflik terbesar sepanjang sejarah partai moderen ini.
Dalam usia 50 tahun, partai politik tertua ini justru mengalami masalah yang
akan mengubah wajah Partai Golkar ke depan. Bukan hanya sisi legalitas,
melainkan juga dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi yang sedang
berjalan.
Sehingga, diperlukan kehati-hatian dalam
menyelesaikan masalah ini, baik dari kalangan internal Partai Golkar, maupun
pihak terkait termasuk dan terutama pemerintah dan lembaga peradilan. Apabila
penanganan yang dilakukan emosional dan berdasarkan pamer kekuasaan semata,
bisa dipastikan bahwa Partai Golkar bakalan mengalami konflik permanen,
struktural dan masif yang sulit dicarikan jalan keluar. Konflik yang selama ini
terkelola dengan baik, hanya berlangsung secara tertutup, belakangan menjadi
terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas.
Akar
Konflik
Apabila diurutkan secara kronologis,
tanpa menyertakan tanggal-tanggal, akar konflik Partai Golkar dapat dirunutkan
sebagai berikut:
Pertama, pemberian
mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam Rapimnas VI
Partai Golkar di Jakarta. Mandat itu berisi dua opsi, yakni (1) menetapkan ARB
sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar, dan (2)
memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin komunikasi dan koalisi dengan
partai politik manapun. Fakta politik yang terjadi, ARB tidak menjadi Capres
atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan
Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam pemahaman yang berbeda, mandat penuh
hanya diberikan dalam konteks ARB sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah
membawa Partai Golkar untuk mengusung pasangan Capres dari non kader dan partai
politik lain.
Kedua, upaya Partai
Golkar mengusung Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus,
fungsionaris dan kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup, beberapa
pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK. Keberadaan JK
sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan
itu. Di sinilah drama dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk tidak memecat
kader seperti itu, ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB mengatakan
bahwa pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan jabatan,
selama Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada pemecatan tiga
orang kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus Gumiwang
Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.
Ketiga, masalah baru
kemudian muncul, yakni waktu pelaksanaan Munas Partai Golkar. Kader-kader
senior yang terlibat dalam Munas Riau, mengingatkan soal perbedaan antara
Anggaran Dasar Partai Golkar dengan rekomendasi Munas. Sesuai dengan amanat
pasal 30 Anggaran Dasar Partai Golkar, Munas adalah pemegang kekuasaan
tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. Mengingat Munas Riau
2009 berakhir pada tanggal 08 Oktober 2009, berarti Munas Partai Golkar
dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 08 Oktober 2014. Hanya saja, ada
rekomendasi Munas Riau yang menyebutkan perpanjangan waktu kepengurusan, sampai
tahun 2015. Upaya untuk mendesak agar Munas Partai Golkar disesuaikan dengan AD
Partai Golkar dilakukan.
Keempat, bukannya malah
berupaya memberikan penjelasan yang memadai menyangkut perbedaan tafsiran
antara penganut AD Partai Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP Partai
Golkar dibawah ARB malahan memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai Golkar
yang mendesak Munas dilaksanakan sesuai dengan AD Partai Golkar. Sejumlah
pengurus dicopot atau digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan, “Apa
mereka yang menghendaki Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan
sebagai Dewan Pengurus DPP Partai Golkar?” Konflik ini bisa diselesaikan, walau
tetap saja sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai
Golkar, nyaris tanpa komunikasi politik yang cukup.
Kelima, situasi baru
muncul, akibat voting menyangkut UU tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah di
DPR RI. Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ternyata mendukung
opsi pemilihan langsung kepala daerah. Sanksi kemudian datang dengan cepat,
yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam tubuh Partai Golkar. Konflik
baru ini masih terbatas, tidak meluas. Kalangan elite Partai Golkar malah
semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi Munas pada bulan Januari
2015. Kandidat-kandidat Ketua Umum Partai Golkar bermunculan, antara lain Agung
Laksono, MS Hidayat, Airlangga Hartarto, Priyo Budi Santoso, Hadjriyanto
Thohari, Zainuddin Amali dan Agus Gumiwang. Kandidat-kandidat yang bersaing itu
melakukan konsolidasi secara diam-diam atau terang-terangan.
Keenam, konflik baru
muncul, akibat pergerakan di lapangan. Atas nama DPP Partai Golkar, terjadi
penggalangan politik untuk mengusung ARB sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar
untuk kedua kalinya. Gerakan itu melibatkan DPD-DPD I Partai Golkar. Pertemuan-pertemuan
tertutup diadakan, baik di Jakarta, maupun di masing-masing pulau atau
provinsi. Masalahnya, antara gerakan politik dengan ucapan berseberangan. Hal
inilah yang memicu desas-desus politik yang sulit dikendalikan. Desas-desus itu
bertambah runyam, ketika kandidat Ketua Umum Partai Golkar diluar ARB dibatasi
pergerakannya. Bahkan, atas nama revitalisasi kepengurusan, sejumlah pengurus
Partai Golkar di daerah-daerah digeser atau dicopot dari jabatannya, mengulangi pola yang terjadi dalam tubuh DPP Partai
Golkar.
Ketujuh, masalah
jegal-menjegal tentu sudah “biasa” di kalangan politisi, hanya saja tercium
upaya agar Munas Partai Golkar dilakukan tidak sesuai dengan jadwal yang sudah
“sama-sama dimaklumi”, yakni Januari 2015. Dalam keadaan semacam itu, diadakan
Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mencarikan jalan keluar. Rapat Pleno
memutuskan agar Rapimnas VII Partai Golkar sama sekali tidak membahas agenda
Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu aktual. Sebelum Rapat
Pleno diadakan, sudah terjadi Rapat Koordinasi Partai Golkar dengan
menghadirkan DPD-DPD I di Bandung. Skenario tertutupnya adalah Munas dilakukan
sesegera mungkin, dengan tujuan memenangkan ARB sebagai Ketum. Namun, upaya itu
berhasil dipatahkan dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar. Walau demikian,
pergerakan politik terus dilakukan, yakni pertemuan informal antara DPD I
Partai Golkar dengan Nurdin Halid di Bali. Secara bersama-sama, mereka ingin
datang ke acara Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, langsung dari Bali.
Kedelapan, situasi
menjadi matang, ketika Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta ternyata
membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal Munas disepakati, yakni 30 November
– 2 Desember 2014. Tempat Munaspun ditetapkan, yakni Bandung, dengan opsi Surabaya
dan Bali. Para pengurus DPP Partai Golkar yang berbeda tafsiran menyangkut
kewenangan Rapimnas, sebagaimana diatur dalam AD-ART Partai Golkar, sama sekali
diabaikan.
Kesembilan, konflik yang
bersifat tertutup kemudian menjadi terbuka, diawali ketika diadakan Rapat Pleno
DPP Partai Golkar guna mengesahkan rancangan materi Munas Partai Golkar. Walau
mengusai penuh arena Rapimnas Partai Golkar yang dikendalikan oleh DPD-DPD I
Partai Golkar, ternyata mayoritas pengurus DPP Partai Golkar semakin sulit dikendalikan.
Kedatangan “AMPG” yang berpakaian lengkap, baru dan berjalan rapi, ternyata
mengundang sentimen baru. Dalam waktu beberapa saat saja, muncul ratusan “AMPG”
lagi, sehingga memicu konflik terbuka. Rapat Pleno DPP Partai Golkar gagal
dilaksanakan, terutama dalam rangka mendengarkan paparan SC Munas, guna
disahkan sebagai draft Munas Partai Golkar pada masing-masing komisi. Upaya
untuk menskor Rapat Pleno, ternyata berbuah kepada perebutan palu. Ketua Umum
Partai Golkar ARB dan Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham kemudia dipecat,
karena dianggap tidak mampu melanjutkan Rapat Pleno hingga selesai, sebagai
syarat legal guna menuju arena Munas. Sejak saat itulah, terbentuk Pejabat
Sementara Ketua Umum Partai Golkar, lalu Presidium Penyelamat Partai Golkar
sebagai wadah politiknya. DPP Partai Golkar dikuasai secara penuh.
Kesepuluh, walau tidak
berhasil mengendalikan DPP Partai Golkar, serta dalam status pemecatan terhadap
Ketua Umum dan Sekjen, Munas Partai Golkar tetap diselenggarakan di Bali, pada
tanggal November – 2 Desember 2014. Perbedaan pendapat terjadi, termasuk di
kalangan Presidium Penyelamat Partai Golkar. Munas Partai Golkar di Bali
dipantau dari dekat. Upaya islah yang coba dilakukan oleh Dr Akbar Tandjung
ternyata tidak berhasil. Sesuai dengan upaya dan skenario yang sudah dilakukan
sebelumnya, terjadi Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum Partai Golkar yang
sudah tidak lagi mewakili mandat yang dibawa dari Rapat Pleno DPP Partai
Golkar.
Kesebelas, tanpa menunggu
waktu lama sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tentang Partai Politik
berkaitan dengan pendaftaran kepengurusan, DPP Partai Golkar dengan pejabat
sementara Ketua Umum Agung Laksono, melakukan Munas di Ancol pada 6-8 Desember
2014. Kedua Munas melahirkan dua kepengurusan. Proses pendaftaran kepada
Kementerian Hukum dan HAM dilakukan pada hari yang sama, yakni 08 Desember
2014. Lalu, disinilah dimulai etape berikutnya menyangkut keberadaan Partai
Golkar ke depan.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar